perjuangan ~

Aku termenung, dan mulai berfikir sebenarnya apa tujuan hidupku.

Aku memulai mandiri tidak bersama orangtua dan tinggal dengan orang lain yang dianggap keluarga sejak umur 13tahun. Bukan hal yang mudah melewati masa pubertas tanpa dampingan seorang Ibu. Disini aku menyadari bahwa Ibu memang berharga. Tapi ketika egoisku mulai menguasai, dengan protektif mereka yang ku anggap berlebihan. Aku merasa tidak seatap dengan mereka itu lebih baik, ya aku senang menghindari permasalahan. Dan sampai sekarang itulah sifat burukku, menghindari masalah bukan menghadapinya dengan gagah. Ada  niat untuk menyudahi semuanya dan kembali bersama tinggal dengan orangtua, mencari sekolah yang lebih dekat setidaknya aku tidak akan kekurangan uang saku. Tapi setelah lulus aku berfikir, bodoh sekali kalau aku kembali ke desa, bersekolah ditempat yang biasa-biasa saja. Beberapa orang yang mengatasnamakan mereka keluargaku pun meremehkan aku yang memiliki mimpi tinggi. Ya aku ingin merubah kehidupanku, aku tidak ingin selalu menjadi orang yang dihina. Setidaknya dalam hal materi kami cukup dan bisa mengimbangi mereka. Bahkan aku ingat sebelum Mbah kakung meninggal beliau bilang "mimpimu ketinggian, ndo. Nanti kalau jatuh rasanya sakit". Aku yang baru beranjak remaja memiliki emosi yang labil, aku dendam dengan mereka yang meremehkanku. Ku putuskan untuk lagi hidup mandiri jauh dari orangtua dan menumpang dirumah keluarga. Sampai akhirnya aku bisa membuktikan bersekolah di tempat terfavorit di kota. Ah namanya juga orang dengki, mau sudah puncak pun ku capai mereka tetap menganggap remeh. Bahkan dipandang sebelah mata pun tidak. Lagi aku berjanji untuk melihat mereka kebakaran jenggot. 

Aku berusaha untuk kuliah di fakultas kedokteran, ya itu artinya aku harus menumpang lagi. Dihina dan dicibir sebagai anak bawang bahkan dibilang anak pungut aku sudah biasa, tidak lagi aku marah. Semuanya demi aku bisa bersekolah di kota dan membanggakan orangtua. Awalnya memang karena hinaan dan cibiran mereka. Ya aku menjadikan hal negatif terdengar seperti motivasi. Ternyata aku kalah di stase ini, pendidikan dokter tidak dapat ku raih, aku menyerah dan memilih di kesehatan masyarakat. Mereka pun tertawa terbahak dan bahagia. Namun aku mulai gerah, aku membuktikan lagi dengan nilaiku yang baik, mungkin tidak teratas tapi ya standar. Persaingan diperkuliahan bukan seperti sekolah. Masing masing punya pilihan mau jadi singa atau keledai, tidak ada pilihan lain karena ini hutan rimba. Mungkin tersirat demikian dari semua yang dialami selama perkuliahan. Terkadang kata sahabat dan teman sejati hanya sebuah kamuflase, yang sesungguhnya adalah memanfaatkan. Sakit memang itu lah kerasnya rimba. Jika tidak memakan, maka akan dimakan. Itu buruk buatku? Tentu tidak, aku memang terlihat bodoh. Tapi mereka tidak tau untuk sampai di titik ini aku tidak melewati jalan yang mulus. Sampai akhirnya aku menyelesaikan pendidikan strata satu, dan menyandang gelar sarjana kesehatan masyarakat. Kedua orangtua bangga bukan kepalang, anak petani bisa menyelesaikan pendidikan s1 dengan gelar cumlaude ya walaupun ipknya mepet. Apa aku sudah puas? Apa dendamku sudah terbalas? Kurasa belum. 

Setelah satu bulan duduk dirumah aku mulai bosan, seorang teman (Ini benar-benar teman bukan hanya kamuflase) mengajak untuk interview. Setahap demi setahap aku lulus dan alhamdulillah bisa menyandang gelar trainee disalah satu perusahaan internasional. Tapi sayang, aku hanya sendiri. Seandainya aku boleh memilih, ingin rasanya mencapai tahap ini berdua dengan teman tadi. Tapi aku bisa apa, menurutku terbaik belum tentu Allah mengatakan itu baik. Aku yakin, dan aku percaya Allah telah menuliskan kisahnya yang lebih indah, dan mendoakannya untuk segera mencapai keindahan itu yg bisa aku lakukan sekarang. Setelah bertemu dengan orang-orang hebat dalam interview. Aku menyadari satu hal, tujuan dari semua perjuanganku. Ternyata bukan untuk membungkam mulut besar mereka para pemfitnah dan penggibah. Tenyata perjuanganku untuk mereka yang ku panggil Ibu dan Bapak. Setiap kali mereka tersenyum lelah fisik dan mentalku seketika menghilang. Dan ketika mereka menangis haru karena bangga aku merasakan sebuah kebahagiaan.
Ya ternyata jalan yang aku lalui selama ini, ocehan orang adalah sebuah motovasi. Dan yang utama yang aku perjuangkan dalam hidup ini tujuan hidup ini adalah orangtuaku. Selalu iringi jalanku dengan doamu ya Bu, Pak. Tanpamu aku bukan siapa-siapa, dan tidak akan berdiri disini sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SMANSA Banjarbaru dalam gambar

Overthink, isn't it?

Photoshoot for yearbook "B A T I K"